Perubahan iklim global yang ditandai dengan perubahan pola dan intensitas unsur-unsur iklim telah membawa perubahan cuaca di Indonesia (1). Salah satunya adalah curah hujan yang tinggi dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga menimbulkan banjir di beberapa wilayah yang sebelumnya tidak pernah dilanda banjir (2). Curah hujan yang tinggi juga menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor di dataran tinggi dan pegunungan (3). Bencana ini juga didukung oleh penurunan kualitas lahan akibat pertanian, penggundulan hutan, atau perubahan penggunaan lahan, misalnya perumahan. Curah hujan yang tinggi menyebabkan tanah jenuh dan kemudian terjadi tanah longsor karena tidak mampu menampung air hujan yang diterimanya (4).
Bencana tanah longsor diawali oleh aliran translasi, rotasi, pergerakan balok, runtuhan batu, rambat, dan aliran puing (5). Proses terjadinya tanah longsor dapat berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi, mulai dari jangka pendek hingga jangka panjang. Peluang terjadinya tanah longsor juga dapat dilihat dari penyebab tanah longsor yang berasal dari aktivitas manusia, perubahan morfologi tanah, dan faktor geologi. Identifikasi faktor penyebab dan deteksi dini terjadinya tanah longsor dapat mencegah terjadinya bencana atau mengurangi dampaknya (6). Prediksi dengan menggunakan data monitoring real-time yang diolah dengan komputasi mesin mampu memberikan informasi akurat mengenai potensi dan peluang terjadinya tanah longsor (7).
Pemantauan dan deteksi dini bencana tanah longsor bertujuan untuk menghindari (mitigasi) bencana sehingga dampaknya dapat diminimalisir. Pada tahun 2022, terjadi 629 kejadian tanah longsor yang mengakibatkan 318 korban jiwa, 459 orang mengungsi, dan 892 bangunan rusak, yang sebagian besar terjadi di Pulau Jawa. Jumlah kejadian bencana lebih besar pada tahun-tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2020 dan 2021 masing-masing berjumlah 2099 dan 1321 kejadian (8). Dampak bencana dapat diminimalisir melalui peringatan dini di samping upaya pencegahan bencana (9,10).